“Semuanya
akan baik-baik saja.” Alex tersenyum,
bahkan dia tak pernah terlihat setenang itu sebelumnya.
“bagaimana
bisa?” aku sedikit terisak.
Aku
bisa melihat raut wajah Alex sedikit berubah ketika mendengar suara parau dari
mulutku tapi dia tetap berusaha tenang. Sepertinya malu pada dirinya sendiri
terutama pada diriku juga.
Salahku
yang terus membiarkannya dan tak pernah mencoba keras untuk menghentikannya.
Kini bukan lagi Alex yang ku kenal yang berada dihadapanku. Yang berada
didepanku adalah seorang pria yang sedang terduduk lesu dengan ketakutan yang
ia sembunyikan dibalik wajah tenangnya.
Aku
menggapai tangannya, lengan itu kini lebih kokoh dari biasanya, seperti dia
tengah mempersiapkan pertahanan diri untuk melindungi dirinya.
Alex
tersenyum ketika aku memberanikan diri untuk melihat wajahnya. Ada yang aneh
dibalik tatapan Alex, seperti ada pertanyaan yang ia sembunyikan. Aku
memberanikan diri untuk membongkar rahasia dibalik matanya.
“Katakan
saja,” aku tersenyum walau terlihat seperti dipaksakan tapi setidaknya aku juga
berusaha membuat pertahanan diri.
Alex
masih bungkam, mungkin dia berusaha untuk menyusun kata-kata yang tepat agar
aku bisa lebih memahaminya.
“Kamu
akan menunggu ku kan Ran?” penyebutan namaku diakhir pertanyaan Alex sedikit
mengejutkan.
Menunggu
apa? Pikirku keras. Bukankah selama ini aku memang selalu menunggunya? Tidakkah
dia anggap itu? Atau dia tidak merasa kalau selama ini perlakuanku bukanlah
tindakan bahwa aku menunggunya.
“Pertanyaanmu
seperti menggambarkan keraguan, kamu ragu terhadapku?” aku menegaskan
jawabanku. Alex tampak bingung tapi dia berusaha tetap tenang.
“Haruskah
aku meragukanmu?” Alex menggenggam tanganku yang sedari tadi menggapai
lengannya.
“Tentu tidak” suaraku
terdengar pasti dan tampaknya Alex pun ikut puas mendengar pernyataanku
barusan.
***
Aku menyanggupi tekadku
untuk terus menemui Alex disetiap waktu senggang yang aku miliki. Alex
tersenyum ketika mendapati aku duduk tepat dibangku biasa aku menunggunya. Kini
aku membawa sekotak nasi dan beberapa lauk-pauk yang sengaja ku persiapkan
sendiri khusus untuk Alex.
Alex berjalan menghampiri
tempat aku duduk dengan langkah lemah dan seragam biru yang ia kenakan.
Tubuhnya kini tampak kurus dan raut wajahnya tak lagi seceria dulu. Mungkin
karena beban pikiran yang ia pikul. Rambutnya juga tidak lagi serapih biasa aku
bertemu dengannya dulu. Dulu di selalu menata rambutnya dengan tatanan
oldschool jaman sekarang, dengan balutan minyak pomade yang membuat rambutnya
tampak berkilau dan rapih. Kini rambut itu dia biarkan saja bergerak bebas
mengikuti arah angin disetiap langkah dan gerakannya, Benar-benar alex yang
berbeda.
“Bagaimana suasana
diluar?” Alex mencoba membuka topik pembicaraan terlebih dulu.
“Biasa saja, tidak ada
yang berubah.”
“aku jadi rindu” Alex
menghela nafas.
“Makanlah, kau tampak
kurus. Apa makanan disini tidak mengenakan bagimu?” Aku mendorong kotak makan
yang sengaja aku siapkan untuknya.
“Terimakasih, kamu jadi
repot-repot seperti ini.” Alex menundukkan wajahnya. “Aku tidak terlalu sering
lapar ketika berada disini.”
“kamu tetap harus makan
bagaimanapun yang terjadi!” nada suaraku setengah membentak.
“apakah tidak makan
ketika berada ditempat seperti ini akan membuatku mati membusuk?” Alex
melemparkan pertanyaan yang benar-benar
menusuk hatiku.
“tentu tidak” mataku kini
mulai terasa perih, sepertinya sebentar lagi akan pecah gulungan air mata yang
sedari tadi sudah aku coba tahan.
“kalau begitu haruskah
aku melakukannya?” Alex tidak mau menatapku, aku tau itu juga akan membuatnya
sama terluka seperti yang aku rasakan.
“Berhentilah
menghancurkan dirimu dan kembalilah menjadi Alex yang aku kenal!” aku bangkit
dari bangku tempat aku tadi duduk tenang, air mataku mulai pecah. Sipir penjaga
menoleh ke arahku. Aku tidak kuat dan memutuskan untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Alex hanya menatap punggungku dengan wajah parau dan membiarkan aku
berjalan meninggalkannya.
***
Hari ini ramai dengan
banyaknya tamu yang berkunjung, mungkin karena hari ini adalah hari libur jadi
banyak anggota keluarga yang mengunjungi sanak saudara atau sekedar kerabat
mereka yang berada disini sama seperti Alex. Aku bahkan sudah melupakan
kejadian yang kemarin, semoga saja Alex juga begitu.
“sekotak nasi lagi? Hari
ini apa menunya?” aku tersadar dari lamunanku begitu mendengar suara lembut
Alex. Kini dia sudah duduk dibangku tepat dihadapanku. Entah kapan dia datang,
mungkin ketika aku tengah sibuk dengan lamunanku sendiri.
“ini rahasia nanti saja
kamu lihat sendiri” aku tersenyum sambil menyerahkan sekotak nasi box putih
kearah Alex.
“kebetulan sekali aku
sangat lapar” Alex menyelipkan sedikit tawa disela-sela perkataannya. Dia
terlihat lebih ceria dibandingkan hari-hari kemaren ketika aku menemuinya.
Alex kini mengenakan Polo
T-shirt berwarna biru tua dengan dibalut rompi berwarna oranye yang sudah
tampak lusuh dan pudar, di dada sebelah kiri pada rompi oranye itu bertuliskan
angka “201” berwarna hitam, angka-angka itu tampak seperti tulisan tangan
seseorang menggunakan spidol marker.
“Ayam crispy? Ini sangat
lezat, taukah kamu disini sangat sulit untuk bisa mendapatkan makanan selezat
ini”. Suara Alex membuyarkan lamunanku, tapi aku senang karena alex sangat
lahap menyantap isi kotak nasi yang sengaja kubawakan untuknya.
“Jadi apa selanjutnya?”. Aku
menatap alex penuh pengharapan semoga saja aka nada hal – hal baik untuk
kedepannya.
Alex
mengalihkan perhatiannya dari ayam crispy yang sedari tadi ia santap untuk melihat
wajahku yang penuh pengharapan dan kecemasan.
“Aku
akan melakukan rehabilitas untuk menunjang penyembuhanku selama berada disini”.
Alex tertunduk sembentar kemudian kembali melihatku, kini dia memberanikan diri
untuk menatap mataku. “bagaimana
denganmu?”. Pertanyaan Alex membuatku membeku sejenak.
“Apa
yang akan aku lakukan? Tentu saja tetap menunggumu".
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar