Rabu, 14 September 2011

(Cerpen) I Wanna Be With You


Oleh : Mutiara Syahrani
Sampai sekarang masih saja terpikirkan oleh ku, sosok dia – pangeran kecilku, yang dulu selalu ada bersamaku, berbagi canda dan tawa hingga cinta.
“kamu mau sampai kapan begini terus Ran ?” suara Zori benar-benar mengagetkanku, aku menoleh kearahnya dengan tatapan kosong.
“gue belum bisa lupain dia sampai sekarang” aku menundukan wajah
“itu dia masalahnya, lu gak pernah mau usaha !” Zori sekarang sudah berada di kursi sebelahku. Aku menoleh kearahnya dan menatapnya sebentar lalu menghela nafas.
“aku akan coba untuk ngebuang semua tentang dia dan yang mengingatkannya !” aku berdiri lalu berjalan pelan menuju ruang kelas, sementara Zori mengikuti dari belakang.

***
            Sesampainya dirumah, aku bergegas masuk kedalam kamar. Sepanjang perjalanan menuju rumah selalu terngiang-ngiang dalam benakku tentang perkataan Zori disekolah.
Aku membuka lemari tempatku menyimpan semua barang-barang yang pangeran kecil tinggalkan untukku. Banyak ku temukan foto kami bersama, ada juga gantungan kunci yang dia buat untukku dari sebuah bunga, memang bunga itu kini sudah layu tidak seperti dulu, tapi itu adalah barang paling berharga untukku saat itu bukan sekarang. Aku mengusap air mata dengan lengan tanganku, lalu memasukkan semua barang itu kesebuah kardus dan membawanya ke halaman depan rumah. Ku taruh berantakan semua barang itu diatas rumput kemudian menyiramnya dengan minyak tanah dan melemparkan korek kearah barang-barang itu hingga kobaran api membakar habis semua kenangan yang pangeran kecil tinggalkan untukku.
“selamat tinggal masa lalu” aku berucap sendiri, kini air mata sudah semakin banyak bahkan lenganku sudah tidak dapat lagi ku gunakan untuk mengusap air mataku yang jatuh karena sudah sama-sama basah.

***
            Aku datang ke sekolah lebih awal, tapi tetap saja sudah ada orang yang datang mendahuluiku. Setelah beberapa menit setelah kedatanganku sekolah sudah mulai ramai dan Zori juga sudah datang.
“aku udah buang semua barang darinya” aku menaruh kepalaku diatas meja, rasanya kepalaku pusing sekali, mungkin karena semalaman aku menangis.
“bagus dong !” Zori menunjukkan senyum yang menyeringai kepadaku.
            Beberapa menit kemudian bel sekolah berbunyi, menandakan masuk pada jam pertama. Pak Said masuk bersama dengan seorang cowok, aku berfikir kalau itu adalah anak baru. “anak-anak, sekarang kita punya teman baru” seru pak Said yang diiringi dengan sorak-soray dari teman-teman sekelasku, kepalaku sangat pusing sampai-sampai tidak bisa kuangkat keatas untuk melihat wajah anak baru itu.
“perkenalkan, nama saya Denny Febrian” aku refleks mengangkat kepala saat ku dengar nama itu, itu adalah nama pangeran kecilku yang sekarang telah menghilang entah dimana. “aku datang jauh dari Amerika, karena orang tuaku ada pekerjaan lagi di Jakarta jadi saya kembali lagi ke Indonesia” dia mengatakan itu dengan senyum yang benar-benar bahagia, aku mengerutkan kening dan berkata sendiri “hebat sekali dia bisa tersenyum sebahagia itu sedangkan aku tersiksa dengan perasaan ini !”.
            Denny duduk di bangku belakang tempat aku dan Zori duduk, Zori menatapku dengan tatapan bingung saat ku alihkan muka ketika Denny lewat disebelahku.
“kenapa Ran ? tidak seperti biasanya ?” aku menoleh ke arah Zori, kepalaku masih dalam posisi diatas meja. “engga apa-apa cuma sedikit pusing aja”.
Zori membalikkan badan menghadap kearah Denny, sepertinya dia memperkenalkan diri dan mengajak Denny ngobrol, aku mendengar sedikit dia menceritakan tentangku kepada Denny dan sepertinya Denny hanya tertawa menanggapi cerita Zori.

***
            Bel tanda sekolah berakhirpun berbunyi, semua siswa secepat mungkin membereskan tas sekolah mereka dan berhamburan di luar gerbang sekolah, Zori izin kepadaku kalau dia tidak bisa pulang bersamaku karena ada latihan Piano di sanggar, aku hanya dapat memberikan senyum saat dia berkata itu.
            Aku berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu kelas, saat ku yakin sudah tidak ada seorangpun dikelas, tapi firasatku salah. Denny menarik tanganku. Aku yang saat itu sedang pusing hanya dapat menatap matanya. “Ran, aku udah kembali untuk kamu” Denny menggenggam kedua tanganku, aku mencoba melepaskan genggaman itu. “LEPASIN !, aku udah gak butuh kamu lagi, kamu udah terlalu banyak nyakitin aku” aku bisa merasakan air mata mengalir kearah pipiku. “aku minta maaf karena pergi tanpa bilang ke kamu !” Denny semakin erat menggemgam pergelangan tanganku. “CUKUP, AKU UDAH BENCI SAMA KAMU” aku berusaha melepaskan tanganku dan berlari meninggalkan Denny.

***
            Bunda membuka pintu kamarku perlahan, “ade Rani, ada yang nyari kamu” bunda mengusap perlahan kepalaku, “siapa bun ?” bunda hanya tersenyum dan menggenggam tanganku pelan. “sebaiknya kamu temui dia” aku semakin penasaran dan terpaksa berjalan keluar kamar menuju ruang tamu. Kaget bukan main saat ku lihat ternyata Denny yang datang. “mau apa kamu ?” tanyaku ketus. Denny tersenyum kearahku “udah lama sekali ya aku tidak main kesini”. “masih ingat rupanya jalan kesini” aku menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa yang akan menangkap mangsanya tapi Denny hanya membalas itu dengan senyum dan tawa kecil.
“lebih baik kamu pulang, karena semakin lama kamu disini itu amat sangat membuatku sakit !” aku berjalan meninggalkan Denny dan menuju kekamar, aku sempat melihat bunda menggelengkan kepala kearahku tapi tidak kuperdulikan.

***
            Aku berjalan tertatih-tatih menuju ruang laboratorium IPA bersama Zori, “apa kepalamu masih sangat pusing ?” Zori menaruhkan telapak tangannya kearah keningku untuk mengetahui suhu badanku. Belum sempat Zori berkomentar tentang suhu tubuhku, aku sudah tidak sadarkan diri.
            Aku membuka mata perlahan, memperhatikan setiap sudut tempatku berada sekarang, setelah beberapa menit mengamati aku baru tersadar kalau sekarang aku berada di ruang kesehatan.
Aku kaget saat melihat Denny sudah duduk di bangku sebelah tempat tidur ruang kesehatan. “kamu udah baikan ?” aku bisa melihat wajah Denny yang saat itu bena benar khawatir. Zori datang membawakanku sebuah the hangat “tadi kamu pinsan dan untungnya langsung ada Denny yang siap membopongmu ke ruang kesehatan” aku menoleh kearah Denny dengan tatapan tidak suka.

***
“biarkan aku mengantarmu pulang” Denny terus memaksaku untuk ikut dengannya, tapi aku mengabaikannya dan terus berjalan kearah gerbang sekolah.
“Ran, aku sayang sama kamu dari dulu sampai sekarang ! tolong jangan perlakukan aku seperti ini karena ini sangat membuatku tersiksa” Denny berteriak dan mengabaikan setiap pasang mata yang mengamatinya saat itu, langkahku seperti terhenti dan air mata kini sudah membasahi setiap sudut mataku. Aku menoleh kearahnya “coba kamu bayangin gimana sakitnya aku waktu kamu tinggalin gitu aja ? apa kamu mikirin aku disana kayak aku yang selalu terbayang tentang kamu ?”
Aku menarik nafasa panjang dan membiarkan air mataku turun membasahi pipi.
“kalau waktu itu aku bisa milih, aku akan pilih untuk tetap di sini sama kamu !” Denny berjalan menghampiriku, dia memelukku sangat kencang dan kubiarkan terlena dalam dadanya yang kini sudah berubah menjadi bidang layaknya cowok remaja sekarang.
Aku benar-benar sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku menangis dalam pelukan Denny.

***
            Sekarang semua sudah berubah, aku sudah punya Denny yang sayang sama aku dan selalu siap kapan saja aku membutuhkannya.
“aku janji gak akan pernah ninggalin kamu kayak dulu aku ninggalin kamu” Denny mencium keningku dan menatapku dengan penuh cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar