Rabu, 14 September 2011

(Cerpen) Forever Love


Oleh : Mutiara Syahrani
Tertegun bingung sambil menatap langit dengan fikiran kosong.
Aku sendiri bingung sebenarnya sedang melakukan apa, yang aku tahu hanya menunggu di temani dengan kesepian.
          Olive terus memanggil namaku, entah apa yang membuatku berusaha untuk mengacuhkan panggilannya itu, yang jelas aku benar-benar tidak ingin di ganggu.
Sia-sia saja saat Olive berhasil menepuk bahu kananku, aku menengok ke arahnya mencoba untuk menyembunyikan semua masalah yang ada di benak fikiranku, dan aku tahu pasti semua itu akan gagal, lagi pula aku memang bukan orang yang gampang menyembunyikan masalah apalagi dari Olive yang memang sahabatku sendiri.
“ kenapa Mal ?, dari tadi di panggilin gak nyahut-nyahut ! “
Aku hanya menjawab dengan gelengan.
“ lu sakit ya ? “
Sama seperti sebelumnya, hanya gelengan yang ku tunjukan dari pertanyaannya itu. Tapi jangan fikir Olive akan nyerah, aku kenal Olive, dia bukan tipe orang yang gampang menyerah.
Tidak seperti aku ini.
          Sepertinya kami menghabiskan waktu dalam perjalanan pulang hanya dengan berdiam-diam saja. Aku tahu ini memang tidak baik, apalagi Olive sudah berbaik hati padaku dengan menanyakan keadaanku ini. Sepertinya aku harus menyerah untuk rahasiaku ini.
Ku beranikan diri untuk menengok ke arah Olive, ku tarik nafas dan menelan sebagian ludah.
“ Huft, sorry gue bikin lu bingung tapi gue bener-bener gak pengen ngebagi hal ini untuk sementara “
Ku tundukan wajah lesuku ini, aku seperti mendengar tawa kecil dari Olive. Apa mungkin dia tertawa ?, ku coba untuk melihat ke arahnya dan dia memang sedang tertawa sambil tersenyum ke arahku.
“ okey not problem, tapi gue tahu kok apa masalah lu itu “
Sahutnya sambil tersenyum.
Aku lega mendengarnya, dia memang pandai mengetahui masalahku ini. Tapi, apa yang dia tahu dari masalahku ini ?.
Olive sepertinya mengetahui kebingunganku ini.
“ Pasti, karena Revo ? “
Dengan penuh keyakinan ia mengatakannya. Aku tertunduk merasa malu dan menyesali semua, rasanya konyol banget termenung-menung bahkan sampai mengabaikan sahabat sendiri cuma karena seorang cowok. Jadi ingin memukul muka sendiri.

          Di sekolah aku berharap tidak akan bertemu dengan Revo, dia benar-benar sudah membuatku jadi frustasi.
Kalau bisa rasanya mau ku katakan kepadanya kalau dia adalah cowok yang tidak punya hati dan perasaan. Padahalkan sudah jelas kalau aku ini sangat menyukainya ! tapi, kenapa dia malah berpacaran dengan Lidya si cewek sok cantik dan sok perfect itu.
Gimana aku tidak naik darah, bahkan sesekali terpikirkan olehku untuk bunuh diri. Untungnya aku masih punya fikiran untuk gak ngelakuin hal seperti itu.
          Sial, kayaknya sia-sia aku menghindar setengah mati malah ketemu juga. Revo sedang duduk di dekat lapangan bersama dengan si Lidya, mau lari tapi kemana, kayaknya cuma bisa menerima dengan lapang dada aku harus jalan melewati lapangan. Tapi untungnya Olive cepat menyeretku menjauh dari semua masalah yang akan kubuat lagi hari ini.
“ lu gila Kemala ?, itu sama aja nusuk jantung sendiri “
Aku heran setengah mati, bingung juga dengan apa yang ia katakan tadi.
“ apaan sih Live ?, gue gak ngerti ! “
Olive memukul kepalaku, sepertinya dia gemas dengan kepolosanku ini. Tapi apa boleh buat, yang jelas Olive sudah menyelamatkanku.
“ lu gak kasihan sama hati lu ? “
Aku tertegun mendengar perkataan Olive, bener juga apa yang udah ku lakukan itu hanya akan membuat hatiku semakin hancur dan aku memang tak bisa mengungkirinya lagi. Sekarang aku benar-benar ingin menangis.
          `Pulang sekolah ada pertemuan anak Mading`.Aku kaget membaca SMS yang kuterima dari kak Setu ketua ekskul mading. Berarti aku akan betemu dengan Revo pada saat pertemuan, yang juga anak mading.
Ya ampun, aku benar-benar bingung harus bagaimana, tidak mungkin kalau aku tidak ikut dalam pertemuan itu karena kak Setu sudah mempercayaiku sebagai sekertaris dalam ekskul mading.
Mau gak mau aku harus datang, aku bertekat pada diriku sendiri dan mencoba menganggap kalau gak akan ada masalah baru apapun itu, semoga saja.
          Tepat seperti apa dugaanku, Revo datang dan sekarang dia sedang duduk di depan ruang Redaksi mading, dan dia melihatku sambil tersenyum tapi tunggu apa yang di maksud dengan melihatku sambil tersenyum ?, yang benar saja sekarang tatapannya benar-benar tertuju padaku dan rasanya benar-benar mau lari, tapi yang benar saja apa yang akan Revo fikirkan kalau tiba-tiba saja aku lari karena dia tersenyum padaku.
Aku harus menghampirinya, tekatku sendiri seperti tergoyahkan saja. Tapi belum sampai ku ke tempat dimana dia duduk, dia sudah menghampiriku duluan dengan Senyum yang merekah pada bibirnya itu.
“ baru keliatan Mal, kemana aja ? “
Aku menundukan wajah, shok mendengar pertanyaan Revo yang baru saja ia lontarkan padaku.
Aku benar-benar mau lari sekarang ini, rasanya ingin berteriak minta tolong ke siapa saja.
Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku memang sengaja menghindarinya karena takut sakit hati lagi. Bisa-bisa Revo tahu kalau aku suka sama dia. Tapi aku tetap harus menjawab pertanyaannya itu.
“ Mungkin karena lu gak pernah ngeliat gue, makanya gue gak keliatan “
Semoga jawabanku tidak salah kata, aku menggigit bibir bawahku dan mencoba untuk melirik wajah Revo.
Ia tersenyum dan tertawa, “ emang bener gue yang gak pernah liat lu”
Aku balas tertawa mendengar perkataannya, memang tawaku terdengar agak kaku tapi sepertinya Revo tidak menyadari itu.
          Rapat mading selesai, aku berjalan sendiri menuju gerbang sekolah. Tapi aku dikagetkan dengan sosok Revo yang berdiri di sebelah gerbang sekolah sambil melambaikan tangan ke arahku.
Aku menoleh kebelakang, memastikan apa benar kalau Revo itu melambaikan tangannya kepadaku. Memang tidak ada siapa-siapa dan dengan ragu aku membalas lambaian tangannya itu.
“ jalan kok lama banget Mal ? “
Aku bingung dengan maksud perkataannya itu, dan apa yang sedang ia lakukan sekarang ini, mengapa dia tidak langsung pulang kerumah.
“ kok gak pulang Rev ? “
Aku memandang ke sekeliling, apa mungkin Revo menunggu Lidya. Tapi usahaku sia-sia, aku sama sekali tidak menemukan sosok Lidya di sekitar sekolah yang sudah mulai sepi ini.
Pasti Lidya sudah pulang dari tadi, lalu untuk apa Revo berdiri di sindi sendirian.
“ gue nungguin lu Kemala, ayo kita pulang bareng ! gue gak tega liat lu jalan sendirian ke rumah “
Aku seperti tersedak ludah sendiri, antara percaya dan gak percaya. Rasanya kayak mau terbang.
“ ya ampun, baik banget lu Rev “
Sepertinya kata baik itu tidak melambangkan apa-apa, tapi gak peduli yang jelas aku benar-benar senang banget.
“ Mal ?, ayo jalan “
Saking senangnya aku sampai lupa kalau harus pulang.
          Sepanjang perjalanan aku benar-benar bingung menentukan topik pembicaraan yang harus ku awali.
Apa sebaiknya aku bertanya soal hubungannya dengan Lidya.
Atau sebaiknya tidak, tapi aku benar-benar ingin tahu tentang perkembangan hubungannya itu.
“ Rev, gimana hubungan lu sama si Lidya ? “
Aku menggigit bibir bawahku, kali ini aku lihat Revo seperti kaget. Ia menoleh padaku, menatapku sebentar lalu tersenyum.
“gue sepertinya udah nyia-nyiain sesuatu !”
Ia tertawa lalu berjalan cepat mendahuluiku. Aku bingung dan sama sekali tidak mengerti apa maksudnya tadi itu.
          Segera ku kejar Revo yang sudah jalan agak jauh dariku, Masih dengan fikiran bingung.
Baru saja ingin ku tanyakan hal tadi ketika aku sudah mulai bisa mengejarnya dan menjajarkan langkahku padanya.
“Rumahmu, sudah ada di depan mata”
Revo menunjuk sebuah rumah tingkat, berwarnakan Cat coklat muda dengan serangkaian bunga dihalaman sehingga terlihat sejuk,  yang berada di depan pos pangkalan ojek.
Itu rumahku, tempatku berteduh.
Tapi, bagaimana dengan semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Revo tentang perkataannya tadi itu.
“Rev, tapi tadi apa sih maks.....”
“eits, waktunya pulang ! gue pulang dulu yah”
Belum selesai pertanyaanku sudah di potong saja oleh Revo.
Aku mencetuskan muka, terus-terusan mendumal dalam hati sepanjang perjalanan menuju pintu rumah.
Langsung saja ku buka pintu rumah dengan kasar dan menuju ke lantai atas tempat kamarku berada.
Ku buka dan ku tendang pintu kamar agar menutup kembali, lalu kulemparkan tasku ke arah tempat tidur.
Kesal yang ada dalam fikiranku, ingin berteriak sekencang-kencangnya. Kenapa Revo membuatku sangat penasaran hari ini.
“kenapa toh non ?”
Saking kesalnya, aku sampai tidak sadar kalau bi Inah sudah berada di dalam kamarku.
“ gak apa-apa kok bi, masuk kamar saya kok gak ngetuk dulu ?”
Aku memandangnya, berharap ia akan segera keluar dari kamarku ini, jadi aku bisa melanjutkan pelampiasan amarahku
ini.
“tadi non pulang langsung marah-marah, bibi takut terjadi apa-apa sama non”
Aku tersenyum pada bi Inah, menghirup udara sejenak lalu menatap bi Inah kembali.
“aku sedang ada masalah Bi, jadi kebawa emosi tapi aku gak apa-apa, bibi gak usah khawatir”
Bi Inah tersenyum padaku, lalu menutup pintu kamarku secara perlahan.

          Aku sengaja duduk di pinggir balkon rumahku, agar bisa lebih leluasa untuk mendapatkan udara. Masih terbayang dalam pikiranku tentang perkataan Revo tadi.
Tiba-tiba saja hapeku berbunyi memainkan irama lagu standart yang aku stel untuk tanda nada SMS.
Tersentak kaget saat melihat tanda SMS masuk dalam handphoneku. Ini SMS dari Revo, tumben sekali dia SMSku.
Jantungku mulai menandakan tidak wajar, berdetak kencang sekali dan ingin cepat-cepat untuk membaca SMS darinya.
Gue udah mutusin Lidya, karena gue ngerasa salah pilih’
Kaget serta bingung melanda pikiranku, apa maksudnya ?.
Kenapa dia memberitahuku. Ini benar-benar tidak wajar.
Aku mencoba membalas SMSnya itu, bertanya apa maksudnya. Baru akan mengirim balasan SMS tiba-tiba saja terdengar ada yang memanggil.
“ Kemala .. Kemala, gue di depan rumah lu, keluar dong”
Aku tertegun sebentar mendengar suara itu.
“Revo ?” teriakku histeris.
Apa maksudnya, kenapa dia datang ke sini. Buru-buru aku setengah berlari menyusuri tangga rumah untuk menuju halaman depan dan menemui Revo yang tengah menungguku disana.
          Ku buka pintu rumah dengan perasaan agak bingung, sudah terlihat Revo yang sedang berdiri di depan pintu rumahku. Dia memamerkan senyum kecil lalu menarik tanganku.
“gue mau ngajak lu ke suatu tempat”.
Katanya sambil terus menarik tanganku sepanjang perjalannan menuju tempat motornya di parkirkan.
“mau keman kita Rev ?”
Aku menahan tarikkannya, dia hanya tersenyum lalu melepaskan tanganku dan meraih helmnya yang berada di stir motor. Aku menekuk muka dengan rasa jengkel aku mengikutinya menaiki motornya.
          Revo mengendarai motornya dengan kecepan normal, aku masih jengkel dengan semua hal yang ia lakukan padaku. Bertanya-tanya apa maksudnya sebenarnya.
Tak lama kami hanya berdiam saja selama perjalanan akhirnya sampai juga  di suatu taman, entah taman apa itu.
Mungkin taman bunga yang berada dalam perumahan, yang jelas aku tidak begitu familier dengan tempat dan taman itu.
Setelah memarkirkan motornya, Revo menarikku turun dari motor. Dia membawaku ke sebuah danau di dekat taman itu.
“Astaga” aku berseru kaget saat melihat sederet rangkaian bunga mawar putih cantik yang mengapu di atas danau itu bertuliskan kata I LOVE YOU KEMALA. Aku menoleh kearah Revo, menatap wajahnya yang tampak berseri saat ini.
“Olive bilang lu suka bunga Mawar Putih”
Revo menunjukan wajah kemenangan serta merah merona.
Aku menunduk dan tersipu malu.
“Apa maksud semua ini ?”
Ku beranikan diri menatap mata Revo.
“Dia suka sama lu Mal, sebenernya udah lama, dia selalu nanyain semua tentang lu ke gue”
Olive muncul dari balik pohon sambil tersenyum senang.
“benarkah itu Rev ?”
Aku memegang lengan kananku karena merasa agak ge-er.
“Yups” Revo tersenyum.
“tapi, kenapa lu jadian sama Lidya?”
Aku memasang muka agak nyolot sambil menoleh kearah Olive yang sekarang sudah ada di sampingku.
“Karena sebelumnya gue pikir kalau lu gak suka sama gue, tapi setelah gue jadian sama Lidya gue beraniin diri buat nanya-nanya tentang lu ke Olive”
Revo menepuk-nepuk bahu Olive, membuat Olive seperti orang yang sangat berjasa.
Revo melanjutkan perkataannya “So, lu mau kan jadi cewek gue ?”
Revo menarik tanganku ke dadanya, aku bingung sekaligus senang.
Aku menganggukkan kepala dan berkata
 “ I Love you to Revo, gue sayang banget sama lu dan gue mau jadi pacar lu”
Aku tersenyum, aku tau memang ini jawaban yang tepat.
“aku akan coba untuk mencintaimu selalu Kemala”
Revo mencium tanganku dan mengucapkan
 “Makasih mau jadi bagian terpenting dalam hidupku”.


-SELESAI-

(Cerpen) I Wanna Be With You


Oleh : Mutiara Syahrani
Sampai sekarang masih saja terpikirkan oleh ku, sosok dia – pangeran kecilku, yang dulu selalu ada bersamaku, berbagi canda dan tawa hingga cinta.
“kamu mau sampai kapan begini terus Ran ?” suara Zori benar-benar mengagetkanku, aku menoleh kearahnya dengan tatapan kosong.
“gue belum bisa lupain dia sampai sekarang” aku menundukan wajah
“itu dia masalahnya, lu gak pernah mau usaha !” Zori sekarang sudah berada di kursi sebelahku. Aku menoleh kearahnya dan menatapnya sebentar lalu menghela nafas.
“aku akan coba untuk ngebuang semua tentang dia dan yang mengingatkannya !” aku berdiri lalu berjalan pelan menuju ruang kelas, sementara Zori mengikuti dari belakang.

***
            Sesampainya dirumah, aku bergegas masuk kedalam kamar. Sepanjang perjalanan menuju rumah selalu terngiang-ngiang dalam benakku tentang perkataan Zori disekolah.
Aku membuka lemari tempatku menyimpan semua barang-barang yang pangeran kecil tinggalkan untukku. Banyak ku temukan foto kami bersama, ada juga gantungan kunci yang dia buat untukku dari sebuah bunga, memang bunga itu kini sudah layu tidak seperti dulu, tapi itu adalah barang paling berharga untukku saat itu bukan sekarang. Aku mengusap air mata dengan lengan tanganku, lalu memasukkan semua barang itu kesebuah kardus dan membawanya ke halaman depan rumah. Ku taruh berantakan semua barang itu diatas rumput kemudian menyiramnya dengan minyak tanah dan melemparkan korek kearah barang-barang itu hingga kobaran api membakar habis semua kenangan yang pangeran kecil tinggalkan untukku.
“selamat tinggal masa lalu” aku berucap sendiri, kini air mata sudah semakin banyak bahkan lenganku sudah tidak dapat lagi ku gunakan untuk mengusap air mataku yang jatuh karena sudah sama-sama basah.

***
            Aku datang ke sekolah lebih awal, tapi tetap saja sudah ada orang yang datang mendahuluiku. Setelah beberapa menit setelah kedatanganku sekolah sudah mulai ramai dan Zori juga sudah datang.
“aku udah buang semua barang darinya” aku menaruh kepalaku diatas meja, rasanya kepalaku pusing sekali, mungkin karena semalaman aku menangis.
“bagus dong !” Zori menunjukkan senyum yang menyeringai kepadaku.
            Beberapa menit kemudian bel sekolah berbunyi, menandakan masuk pada jam pertama. Pak Said masuk bersama dengan seorang cowok, aku berfikir kalau itu adalah anak baru. “anak-anak, sekarang kita punya teman baru” seru pak Said yang diiringi dengan sorak-soray dari teman-teman sekelasku, kepalaku sangat pusing sampai-sampai tidak bisa kuangkat keatas untuk melihat wajah anak baru itu.
“perkenalkan, nama saya Denny Febrian” aku refleks mengangkat kepala saat ku dengar nama itu, itu adalah nama pangeran kecilku yang sekarang telah menghilang entah dimana. “aku datang jauh dari Amerika, karena orang tuaku ada pekerjaan lagi di Jakarta jadi saya kembali lagi ke Indonesia” dia mengatakan itu dengan senyum yang benar-benar bahagia, aku mengerutkan kening dan berkata sendiri “hebat sekali dia bisa tersenyum sebahagia itu sedangkan aku tersiksa dengan perasaan ini !”.
            Denny duduk di bangku belakang tempat aku dan Zori duduk, Zori menatapku dengan tatapan bingung saat ku alihkan muka ketika Denny lewat disebelahku.
“kenapa Ran ? tidak seperti biasanya ?” aku menoleh ke arah Zori, kepalaku masih dalam posisi diatas meja. “engga apa-apa cuma sedikit pusing aja”.
Zori membalikkan badan menghadap kearah Denny, sepertinya dia memperkenalkan diri dan mengajak Denny ngobrol, aku mendengar sedikit dia menceritakan tentangku kepada Denny dan sepertinya Denny hanya tertawa menanggapi cerita Zori.

***
            Bel tanda sekolah berakhirpun berbunyi, semua siswa secepat mungkin membereskan tas sekolah mereka dan berhamburan di luar gerbang sekolah, Zori izin kepadaku kalau dia tidak bisa pulang bersamaku karena ada latihan Piano di sanggar, aku hanya dapat memberikan senyum saat dia berkata itu.
            Aku berjalan tergopoh-gopoh menuju pintu kelas, saat ku yakin sudah tidak ada seorangpun dikelas, tapi firasatku salah. Denny menarik tanganku. Aku yang saat itu sedang pusing hanya dapat menatap matanya. “Ran, aku udah kembali untuk kamu” Denny menggenggam kedua tanganku, aku mencoba melepaskan genggaman itu. “LEPASIN !, aku udah gak butuh kamu lagi, kamu udah terlalu banyak nyakitin aku” aku bisa merasakan air mata mengalir kearah pipiku. “aku minta maaf karena pergi tanpa bilang ke kamu !” Denny semakin erat menggemgam pergelangan tanganku. “CUKUP, AKU UDAH BENCI SAMA KAMU” aku berusaha melepaskan tanganku dan berlari meninggalkan Denny.

***
            Bunda membuka pintu kamarku perlahan, “ade Rani, ada yang nyari kamu” bunda mengusap perlahan kepalaku, “siapa bun ?” bunda hanya tersenyum dan menggenggam tanganku pelan. “sebaiknya kamu temui dia” aku semakin penasaran dan terpaksa berjalan keluar kamar menuju ruang tamu. Kaget bukan main saat ku lihat ternyata Denny yang datang. “mau apa kamu ?” tanyaku ketus. Denny tersenyum kearahku “udah lama sekali ya aku tidak main kesini”. “masih ingat rupanya jalan kesini” aku menatapnya dengan tatapan garang, seperti singa yang akan menangkap mangsanya tapi Denny hanya membalas itu dengan senyum dan tawa kecil.
“lebih baik kamu pulang, karena semakin lama kamu disini itu amat sangat membuatku sakit !” aku berjalan meninggalkan Denny dan menuju kekamar, aku sempat melihat bunda menggelengkan kepala kearahku tapi tidak kuperdulikan.

***
            Aku berjalan tertatih-tatih menuju ruang laboratorium IPA bersama Zori, “apa kepalamu masih sangat pusing ?” Zori menaruhkan telapak tangannya kearah keningku untuk mengetahui suhu badanku. Belum sempat Zori berkomentar tentang suhu tubuhku, aku sudah tidak sadarkan diri.
            Aku membuka mata perlahan, memperhatikan setiap sudut tempatku berada sekarang, setelah beberapa menit mengamati aku baru tersadar kalau sekarang aku berada di ruang kesehatan.
Aku kaget saat melihat Denny sudah duduk di bangku sebelah tempat tidur ruang kesehatan. “kamu udah baikan ?” aku bisa melihat wajah Denny yang saat itu bena benar khawatir. Zori datang membawakanku sebuah the hangat “tadi kamu pinsan dan untungnya langsung ada Denny yang siap membopongmu ke ruang kesehatan” aku menoleh kearah Denny dengan tatapan tidak suka.

***
“biarkan aku mengantarmu pulang” Denny terus memaksaku untuk ikut dengannya, tapi aku mengabaikannya dan terus berjalan kearah gerbang sekolah.
“Ran, aku sayang sama kamu dari dulu sampai sekarang ! tolong jangan perlakukan aku seperti ini karena ini sangat membuatku tersiksa” Denny berteriak dan mengabaikan setiap pasang mata yang mengamatinya saat itu, langkahku seperti terhenti dan air mata kini sudah membasahi setiap sudut mataku. Aku menoleh kearahnya “coba kamu bayangin gimana sakitnya aku waktu kamu tinggalin gitu aja ? apa kamu mikirin aku disana kayak aku yang selalu terbayang tentang kamu ?”
Aku menarik nafasa panjang dan membiarkan air mataku turun membasahi pipi.
“kalau waktu itu aku bisa milih, aku akan pilih untuk tetap di sini sama kamu !” Denny berjalan menghampiriku, dia memelukku sangat kencang dan kubiarkan terlena dalam dadanya yang kini sudah berubah menjadi bidang layaknya cowok remaja sekarang.
Aku benar-benar sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, aku menangis dalam pelukan Denny.

***
            Sekarang semua sudah berubah, aku sudah punya Denny yang sayang sama aku dan selalu siap kapan saja aku membutuhkannya.
“aku janji gak akan pernah ninggalin kamu kayak dulu aku ninggalin kamu” Denny mencium keningku dan menatapku dengan penuh cinta.